ALI SYARIATI TOKOH DAN SIMBOL PERJUANGAN KAUM PEMUDA IRAN
Oleh
: William Hendri, SH.,MH.
Wakil
Sekretaris ICMI Kota Tanjungpinang
Revolusi Islam Iran kalau
bukan menjadi perstiwa terpenting yang terjadi dalam sejarah modern, tidak
diragukan lagi merupakan peristiwa terpenting yang terjadi pada abad ke-20.
Bahkan kemenangan yang dipetik oleh revolusi ini selalu menjadi wacana
perdebatan oleh para intelektual. Itu karena dan mungkin pertama kali dalam
sejarah bangkitnya sebuah kelompok kaum tertindas tanpa pembekalan kecuali
hanya dengan senjata keimanan dan keinginan yang kuat untuk menumbangkan
kekuasaan yang tiran dan selalu menghalalkan segala cara dalam meraih tujuan.
Mereka tak merasa ragu
untuk mengorbankan jiwa dan darah demi menumpas berbagai kekuatan itu, serta
melemparkannya dalam tong sampah sejarah. Ini membuktikan bahwa kekuatan iman
tidak akan pernah terkalahkan disamping mengilhami semua Negara Islam bahwa
senjata keimanan yang sudah di anggap usang adalah merupakan senjata pamungkas yang
terpendam dan hidup dalam hati umat Islam.
Prinsip-prinsip
keimanan inilah yang menciptakan Revolusi Islam Iran, dan dengan Revolusi itu
pula berbagai prinsip keimanan menjadi sebuah kekuatan baru yang ampuh dan
tangguh, dan tanpa diragukan lagi bahwa inilah inti dan esensi Revolusi Islam
Iran. Segencar apapun serangan dan propaganda yang disebarkan oleh musuh-musuh
untuk mengaburkan wajah Revolusi ini, namun tetap saja Revolusi Intelektual
yang mengiringi Revolusi senjata tak akan goyah serta selalu menebarkan
wanginya.
Nama Ali Syariati yang
terdengar pada masa perjuangan rakyat Iran Pra Revolusi adalah seorang tokoh
yang banyak membantu perjuangan Khomeini dalam menjatuhkan rezim Shah Iran yang
lalim. Dia juga telah banyak memberikan sumbangan pemikiran-pemikiran untuk
merangsang dan mengajak semua rakyat Iran khususnya kaum muda untuk
bergerak dan berjuang menentang segala bentuk penindasan yang dilakukan rezim
pada saat itu.
Peran Ali Syariati
sangat menonjol menangkis semua propaganda musuh, pemikiran-pemikiran beliau
selalu hadir dalam setiap kancah peperangan Intelektual. Namun setelah
meletusnya Revolusi Islam di iran pada bulan Februari tahun 1979 dengan
jatuhnya Rezim Shah Iran, beliau tidak dapat menyaksikan dan menikmati
kemenangan Revolusi tersebut, yaitu kemenangan perjuangan dan perlawanan kaum
tertindas (Mustad’afin). Beliau wafat 2 tahun sebelum Revolusi berlangsung pada
tanggal 17 Juni 1977 di Southhampton, Inggris, setelah kepergiannya dari Iran.
Jenazahnya ditemukan terbujur dilantai tempat ia menginap akibat diracun oleh
agen pemerintah Shah Iran bernama SAVAK yang berada di luar negeri.
KEHADIRAN YANG DINANTI
Ali Syariati lahir pada
tanggal 24 November 1933 di desa Mazinan pinggiran kota Masyhad dan Sabzavar,
Provinsi Korasan Iran. Nama beliau sebelum menjadi Ali Syariati adalah bernama
Muhammad Ali Mazinani. Desanya berada di tepi gurun pasir Dasht-I Kavir, disebelah
timur laut Iran. Beliau adalah putra sulung dari pasangan Muhammad Taqi
Syariati dan Putri Zahran. Orang tuanya adalah keluarga yang cukup di segani di
tengah-tengah masyarakatnya sebagai tokoh spiritual yang senatiasa menjalankan
ritual dan ritus keagamaan secara taat. Meskipun demikian, keluarga Taqi
Syariati tetap merupakan keluarga layaknya kampung yang hidup seadanya. Dari
keluarga itulah Ali Syariati mulai membentuk mentalitas, kepribadian, dan jati
dirinya, utamanya lewat peran seorang ayahyang menjadi guru dalam arti
sesungguhnya dan dalam arti spiritual.
Sejak kecil, Syariati
sudah memunculkan karakteristiknya yang berbeda dari teman sebayanya. Pada
tahun 1940 Syariati kecil mulai belajar menimba ilmu pendidikan dasarnya di
Masyhad, yaitu sekolah swasta Ibn Yamin, tempat ayahnya mengajar. Syariati
kecil terkenal pendiam, tidak mau diatur, namun dirinya sangat rajin. Selain
itu ia juga selalu menyendiri, terkadang mengurung diri di rumahnya dan
menghabiskan waktunya dengan membaca buku bersama ayahnya hingga menjelang
pagi.
Ali Syariati gemar
mebaca di perpustakaan ayahnya yang besar, bahan bacaannya antara lain Les
Miserables (Victor Hugo), buku tentang “Vitamin dan Sejarah Sinema” terjemahan
Hasan Safari dan “Great Philosophies” terjemahan Ahmad Aram. Syariati kecil
juga mulai menyukai filsafat dan Mistisisme sejak tahun-tahun pertamanya di
sekolah menengah. Dia juga mempelajari karya Saddeq-e Hedaya (Novelis Iran
beraliran Nihilis), Nima Yousheej (Bapak Syair Modern Iran), Akhavan-e Salles (Penyair
Kontemporer Iran), dan Maurice Noeterlink (Penulis Belgia yang memadukan
Mistisisme dengan Simbolisme). Sementara itu, karya Arthur Schopenhauer, dan
Franz Kafka juga dibacanya.
Tahun 1950, Ali
Syariati melanjutkan pendidikannya ke sekolah pendidikan Guru selama dua tahun.
Ketika belajar di sekolah pendidikan Guru inilah, Syariati berkenalan dengan
para pemuda dari golongan ekonomi lemah. Ia turut merasakan kesulitan-kesulitan
mereka. Tahun 1952, Syariati memulai karirnya sebagai guru di desa Ahmad-Abad,
dekat Masyhad, sambil terus belajar di sekolah Pendidikan Guru. Ketika memasuki
masa hidupnya yang ke-20 tahun tersebut, Syariati menyaksikan kondisi negerinya
yang penuh gejolak politik akibat kebijakan otoritatif rezim penguasa. Berbagai
perjuanganpun bermunculan ke permukaan, bahkan hampir terjadi disetiap sudut
kota Iran, hinga pada puncaknya terjadi kerusuhan. Saat itulah Syariati mulai
aktif dalam gerakan politik dengan mendirikan Asosiasi Pelajar Islam di
Masyhad. Ia tidak dapat menutup mata menghadapi kekejaman-kekejaman yang
dilakukan penguasa, ia bangkit melalui dua sektor sosial dan politik. Ia terjun
dalam gerakan pencerdasan bangsa dan menciptakan penyadaran bagi masyarakat
Iran melalui ceramah-ceramah, tulisan-tulisan, serta bergerak lewat organisasi.
Karena pidato-pidato, tulisan-tulisan serta kegiatan-kegiatan perlawanannya
itulah maka pemerintah mengawasinya.
Setelah menginjak usia
23 tahun (1956), Syariati masuk Fakultas Sastra Universitas Masyhad. Ketika itu
Syariati juga terlibat dalam gerakan politik dengan menggabungkan dirinya
bersama kelompok pro-Mushaddiq, oposisi rezim penguasa, serta dibawah Gerakan
Perlawanan Nasional atau NRM (Nasional Revolution Movement) cabang Masyhad, ia
melancarkan gerakan oposisinya melawan rezim pro-Amerika dan Barat. Ia pun
aktif dalam gerakan rakyat dan nasionalis untuk nasionalisasi industri minyak
Iran. Akibat aktivitas politiknya tersebut akhirnya menggiring Syariati ke
penjara selama 8 bulan. Di usia ke-25 tahun, tepatnya pada tanggal 15 Juli 1958,
Syariati menikahi seorang putri dari Haji Ali Akbar bernama Pouran-e Syariati
Razavi. Kebahagiaannya bersama istri kemudian bertambah dengan keberhasilan
Syariati meraih gelar Sarjana, lima bulan setelah pernikahannya.
HIJRAH KE PARIS
Setelah lulus dari Universitas
Masyhad, Syariati meraih beasiswa untuk belajar ke Paris. Di negeri inilah
Syariati merasakan kesempatan terbuka begitu besar membebaskan diri dari
incaran dan ancaman penguasa Iran. Di tempat ini pula Syariati selama lima
tahun menimba beragam ilmu pengetahuan dan terlibat dalam berbagai gerakan.
Syariati banyak menelaah buku-buku yang tidak terdapat atau setidaknya
belum pernah di perolehnya sewaktu di Iran.
Selama di Paris ia
menjalin hubungan secara pribadi dengan para intelektual terkemuka seperti
Louis Massignon (Islamolog Prancis beragama Khatolik), Jean Paul Sartre (Filsuf
Eksistensialis), “Che” Guevara (Pejuang Revolusi Cuba), Frantz Fanon (Pejuang
Revolusi Aljazair), Jacques Berque, Henri Bergson, George Guwitstch, Jean Berck
dan Albert Camus. Sementara itu, dia juga kagum dengan pemikiran A.HD Chandell
dan Jacques Schwartz. Aktivitas Syariati dalam bidang pergerakan politik di
Prancis dalam Gerakan Nasional Anti-Shah Iran di Eropa, yaitu Gerakan
Pembebasan Iran (Liberation Movement Of Iran) ia tunjukan bersama Musthafa
Chamran, Ibrahim Yazdi, Shadiq Quthzadah, Abu Al-Hasan Bani Shadr yang semuanya
menjadi orang penting di Iran pada awal masa Pemerintahan pasca Revolusi Iran
1979.
Masa tinggal
Syariati di Paris bersamaan dengan periode Revolusi Aljazair. Waktu itu
berbagai Partai dan kelompok di Eropa, bahkan para Sarjana dan Sosiolog, saling
berbeda pendapat, ada yang positif dan adapula yang negatif melihat nasib
rakyat Aljazair. Namun di sisi lain, ada Cendekiawan berpengaruh Frantz Fanon
sebagai Warga Negara Aljazair asal Mortinique sejak awal telah turut aktif
dalam mendukung Revolusi Rakyat Aljazair dan telah menulis berbagai buku,
seperti “ The Wretched Of The Earth” (Yang Terkutuk Di Bumi) dan Tahun Kelima
Revolusi Aljazair. Secara seksama Syariati mempertahankan dan mempelajari apa
yang sedang berlangsung di Aljazair. Penelaahan terhadap karya-karya Fanon
memberikan inspirasi bagi inisiasi Revolusi untuk Negerinya Iran. Menurut
pendapat Syariati, buku “The Wretched Of The Earth” (Yang Terkutuk Di Bumi),
yang mengandung Analisa Sosiologis dan Psikologis mendalam tentanng Revolusi
Aljazair, adalah bingkisan intelektual yang berharga bagi mereka yang sedang
memperjuangkan perubahan di Iran. Dengan menjelaskan teori-teori Fanon, yang tadinya
hampir tidak di kenal sama sekali, serta dengan menerjemahkan dan menerbitkan
beberapa pokok pikirannya, Syariati telah mengumandangkan ide-ide Frantz Fanon
di kalangan rakyat Iran. Syariati mulai mengumandangkan syiar Revolusi bagi
Iran, dengan ucapannya yaitu : “kawan-kawan, mari kita tinggalkan Eropa, mari
kita hentikan sikap meniru-niru Eropa. Mari kita tinggalkan Eropa yang sok
berbicara tentang kemanusiaan, tetapi dimana-mana kerjanya membinasakan
manusia”. Pemikirannya yang memetakan Intelektual, menjadi intelektual Islam
yang meniru dan “ Intelektual Sejati” yang mengikuti tradisi para Nabi yang
menyadarkan umatnya sekaligus punya tanggung jawab dan misi sosial, membuatnya
berpikir tentang Intelektual yang Tercerahkan (Rausyanfikr).
KEMBALI KE NEGERI ASAL
Pada tahun 1964,
Syariati berhasil meraih dua gelar Doktor di bidang Sosiologi dan Filsafat
Sejarah Islam di Universitas Sorbone Paris, Prancis. Manakala Syariati seorang
putra terbaik Iran, berpikir bahwa ia telah siap untuk mengabdi kepada negerinya,
rakyatnya serta agama Islam, ia pulang ke Iran bersama istri dan kedua orang
anaknya agar dapat lebih besar mencurahkan segala kemampuan dan pemikirannya
kepada rakyat bangsanya. Namun yang terjadi diluar perkiraan Syariati, begitu
tiba di Bazarqan (Perbatasan Iran-Turki), ia di tahan di hadapan istri dan
anaknya dan langsung di penjarakan. Ia di penjarakan selama 1,5 bulan. Ia
dituduh telah melakukan aktifitas politik oposisi selama di Eropa. Dalam
pengasingannya di penjara Azerbaijan, ia tidak di bolehkan bertemu dengan
keluarga, bahkan dengan Ayahndanya sekalipun.
Pada tahun 1965, Ali
Syariati bekerja sebagai Asisten Profesor di Universitas Masyhad, tepatnya
pengajar bidang Kemanusiaan (Humaniora) di Fakultas Pertanian, sebelum di
pindahkan ke Fakultas Seni dan kemudian saat itu juga ia bekerja pada
Kementerian Pendidikan. Periode tahun 1967-1973 adalah periode paling aktif
dalam hidup Syariati, khususnya di Husainiyah Al-Irsyad. Tahun 1967, Syariati
menjadi dosen Sejarah Islam di Fakultas Sastra Universitas Masyhad. Sebagai
Sosiolog Muslim, Syariati berusaha memecahkan masalah yang di hadapi kaum
muslim berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Masalah ini diterangkannya dan di
bahas bersama dengan mahasiswanya. Dalam waktu singkat, dia menjadi populer di
kalangan mahasiswa dan mulai meluas ke masyarakat umum. Memang, bagian dari
rencananya adalah menarik Intelektual Muslim potensial untuk menjadi oposisi.
Karena itulah Rezim Shah Iran menghentikan aktivitas mengajarnya, dan pada
tahun 1968 ia di pensiunkan dari Kementrian Pendidikan di usianya yang baru 35
tahun.
Syariati kemudian
pindah ke Teheran, ke sebuah Institut bernama Husainiyah Al-Irshad. Di kota
ini, Syariati meneruskan aktivitas mengajarnya. Di Institut Husainiyah
Al-Irshad itu, sekitar 6000 mahasiswa yang terdaftar dalam kursus musim panas,
dan juga ribuan masyarakat dengan berbagai latar belakang mengikuti ceramahnya.
Tahun 1969 adalah masa-masanya yang paling produktif. Salah satu kuliahnya, di
bulan Oktober 1968, diterbitkan dengan judul Ravisy-I Syinakh-I (Approaches To
The Understanding of Islam / Cara Memahami Islam) pada tahun 1969 ini juga,
otobiografinya berjudul “Kavir” (Padang Garam) diterbitkan Syariati juga secara
terang-terangan mengkritik ulama konvensional yang disebutnya sebagai “Borjuasi
Kecil” dan “Despotisme Spiritual”. Menurutnya banyak ulama yang berpandangan
sangat picik yang hanya bisa mengulang-ulang doktrin fiqh secara bodoh. Di satu
pihak, penguasa telah menindas keimanan atas nama Islam, tetapi di pihak lain,
para ulama tradisional juga harus di kritik karena apatis terhadap kezaliman.
Ketika Shah Iran hendak mengadakan pesta megah 2500 tahun kerajaan Persia,
dalam rangka Tahun Baru Iran, Syariati berbicara tentang 5000 tahun penindasan
di Iran.
Pada 13 November 1971,
ia melancarkan pidatonya yang terkenal, yang berisikan Agitasi Militan dan
Revolusioner untuk mengajak mahasiswa-mahasiswanya meruntuhkan Rezim Shah.
Perlawanan terus digulir oleh beliau, sehingga pada tanggal 19 November 1972,
Polisi Iran mengepung Husainiyah Irshad dan menutupnya, dan menangkap para
pengikut kuliah Syariati. Target awal SAVAK (Agen Pemerintah Shah Iran) adalah
menangkap Syariati, tetapi Syariati sulit untuk di tangkap. Karena itulah,
SAVAK menangkap Ayah Syariati dan memenjarakannya selama lebih dari setahun.
Pada September 1973,
sebulan setelah Ayahnya ditahan, Syariati menyerahkan diri kepada Polisi
rahasia itu, dan ia di ganjar 18 bulan penjara di Rumah Tahanan Komitah,
penjara khusus tahanan politik. Karena desakan masyarakat Iran dan juga protes
dari Dunia Internasional, pada 20 Maret 1975, terpaksa Syariati dibebaskan.
Walaupun dibebaskan, ia tetap di awasi dengan ketat. Ia dilarang untuk
menuangkan ide-ide ke dalam bentuk buku. Syariati juga dilarang untuk
berhubungan dengan muridnya. Tetapi, secara diam-diam ia tetap memberikan
kuliah perlawanan. Menyadari dirinya dibatasi dan tidak bisa berkembang di
Iran, Syariati pergi ke London, Inggris. Pada 16 Mei 1977, Syariati
meninggalkan Iran dan mengganti nama resminya, Muhammad Ali Mazinani, menjadi
Ali Syariati agar tidak terdeteksi pihak bandara dan bisa lolos ke luar negeri.
Karena lama tak
terlihat di rumahnya, pihak SAVAK curiga dan pada 6 Juni 1977, secara resmi
SAVAK meminta Kementrian Luar Negeri untuk mengecek apakah ada orang yang
bernama Muhammad Ali Mazinani, nama keluarga Syariati yang tercantum pada surat
kelahirannya, yang meninggalkan Iran.
Merasa bahwa Syariati
sudah meninggalkan Iran, pada 8 Juni 1977, SAVAK mengeluarkan edaran untuk para
Agennya di luar negeri, yang menyebutkan bahwa Syariati telah meninggalkan Iran
secara ilegal dan bahwa dia harus ditemukan dan diawasi dengan ketat. pada 18
Juni 1977, Pouran, istri Syariati, beserta tiga putrinya hendak menyusul ke
London, tetapi kali ini pihak berwenang menolak mengizinkan Pouran dan Mona,
anaknya yang berusia 6 tahun, untuk meninggalkan Iran. Tetapi Soosan dan Sara,
dua anak lainnya, diperbolehkan. Begitu keduanya tiba di Heathrow , Syariati
menjemputnya dan membawa mereka ke sebuah rumah yang telah disewa di daerah Southampton,
Inggris. Tetapi keesokan paginya, 19 Juni 1977, Syariati ditemukan tewas di
Southampton, Inggris.
Pemerintah Iran
menyatakan Syariati tewas akibat penyakit jantung, tetapi banyak yang percaya
bahwa ia dibunuh oleh polisi rahasia Iran (SAVAK) dengan di racun. Jenazahnya
di kirim ke Perwakilan Iran di Inggris, dan Pemerintah Iran meminta istrinya
agar mengakui jenazah tersebut dan mengembalikannya untuk dimakamkan atas biaya
Pemerintah. Tetapi sang istri menolak usulan itu karena tidak ingin terlibat
dalam ekploitasi nama suaminya demi kepentingan propaganda pemerintah. Jenazah
Syariati kemudian di makamkan di Damaskus, suriah, bersebelahan dengan makam
Zainab, cucu Nabi Muhammad dan saudara perempuan Husain bin Ali, pada 27 juni
1977. Upacara pemakamannya dipimpin oleh Musa al-Shadr. Kematiannya menjadi
mitos “Islam Militan”. Popularitasnya memuncak selama berlangsungnya Revolusi
Iran, Februari 1979. Saat itu fotonya mendominasi jalan-jalan di Teheran,
berdampingan dengan Khomeini. Pada hari ke-40, kematiannya diperingati di
sekolah menengah atas Ameliat, Beirut dan mirip dengan pertemuan puncak
berbagai organisasi pembebasan. Daftar organisasi yang berdatangan adalah dari
Organisasi Pembebasan Palestina (Fatah), Harakat Al-Mahrumin Lebanon, Detasemen
Perlawanan Lebanon, Front Rakyat untuk Pembebasan Lebanon, Front Rakyat untuk
Pembebasan Ritrea, Gerakan Kemerdekaan Iran, Ulama Militan Iran, Organisasi
Muslim Iran di Eropa, Gerakan Pembebasan Nasional Zanzibar, dan Gerakan
Nasional untuk Kemerdekaan Zimbabwe. Dalam kesempatan itu, Yasir Arafat,
Pemimpin Gerakan PLO, menyatakan : “Dr.Syariati bukan saja pejuang Iran, bukan
milik Negara ini saja. Dia seorang pejuang Palestina, Lebanon, Arab dan
Internasional.”
Sudah pernah di publish pada media:
https://lihatkepri.com/2018/09/16/ali-syariati-tokoh-dan-simbol-perjuangan-kaum-pemuda-iran/
pada tanggal 16 September 2018
Komentar
Posting Komentar