KHASANAH KESUNYIAN (YUDI LATIF)


Oleh : William Hendri

(Saduran dan kutipan dari Makrifat Pagi)

Kenal Diri

Saudaraku, hanya dengan hening kesunyatan para pendaki di jalan Tuhan bisa mencapai puncak kesadaran transpersonal (moksa, makrifat).

Orang yang sadar dirinya, akan memahami Tuhannya. Orang yang memahami Tuhannya, akan merefleksikan kerendahhatian dalam ketakterhinggaan kasihNya; bahwa semakin besar akan menjadi kian bahaya bagi yang lain, malahan memberikan ruang hidup bagi keragaman yang lain. Seperti keluasan langit yang mampu memberi ruang bagi matahari, bulan, bintang dan semua yang terkait dengannya.

Orang yang memahami Tuhannya juga akan menyadari keterbatasan dirinya. Adapun orang yang memahami keterbatasannya, akan giat belajar dan menghargai kehadiran orang lain dalam rangka menggosok batu permata dirinya. Bahwa manusia senantiasa dalam proses menjadi dengan memandang setiap momen sebagai kebaruan yang harus diisi dengan belajar dan bekerja untuk menyempurnakan dirinya.

Sunyi Itu Kudus

Dalam kegaduhan, apakah bisa dihayati Ketuhanan? Inti ketuhanan adalah bercengkrama dengan kekudusan (nominous). Hanya dalam sunyi, kedirian mudah menyatu dalam kekudusan. Secara kuat hal ini dibahasakan Amir Hamzah, "sunyi itu kudus". Dalam kesunyian kesunyatan menurut Abraham Maslow, kebatinan mikrokosmos menyatu dengan kebatinan makrokosmos; tidak ada oposisi, kesenjangan, dan perbedaan antara ego dan kosmos; bahwa bahasa jiwa merupakan vibrasi dari semesta.

Di tengah hiruk-pikuk gebyar lahir yang miskin perenungan dan perasaan, mari kita lahirkan kembali spirit ketuhanan yang welas asih lewat khikmat kesunyian. Seperti kata 'Ali Bin Abi Thalib', "Sepatutnya seorang hamba merasakan kehadiran Tuhan pada waktu sendirian (ketika tidak dilihat orang banyak), memelihara dirinya dari segala cela, dan bertambah kebaikannya ketika usianya bertambah tua."

Hanya dalam kesunyian pribadi yang bertanggung jawab, ketuhanan bisa membawa kehidupan publik yang damai dan sentosa. Tentram di hati, sejahtera di bumi.

Jalan Sunyi Pengorbanan

Hanya dalam diam, Tuhan sebagai bahasa kebenaran punya ruang untuk hadir di relung hati, menemani kita dalam sunyi. Seperti kata Bunda Teresa, "Tuhan adalah karib kesunyian. Pepohonan, bunga, dan rerumputan tumbuh dalam kesunyian. Tengok juga bintang, bulan, dan matahari, semua bergerak dalam sunyi."

Momen Kesunyian inilah yang mesti dihadirkan umat Islam ketika memasuki masjid dan "rumah Allah" (baitullah).

Alhasil, kesunyian menghadirkan kekayaan yang lain, yang tidak dimiliki oleh kebanyakan manusia modern. Manusia modern boleh jadi bergelimang harta benda, tetapi acap kali mengidap kemiskinan yang lain. Bukan hanya kemiskinan keterasingan, tetapi juga kemiskinan spiritual, yang membuat mereka hidup dengan penuh kecemasan dan kekerasan.

Hanya dengan belajar menghikmati sunyi, manusia modern punya harapan untuk keluar dari kemiskinan sejenis ini. Dalam kata-kata Bunda Teresa, "Buah dari kesunyian adalah peribadatan; buah dari peribadatan adalah keyakinan; buah dari keyakinan adalah kecintaan; buah dari kecintaan adalah pelayanan; buah dari pelayanan adalah perdamaian."

Setiap upaya pembebasan memerlukan latihan kesunyian penggembalaan. Bukankah sebagian besar nabi pernah menjadi gembala ternak, untuk belajar mengayomi di jalan sunyi? Lewat pelatihan olah batin sepanjang jalan sunyi pelayanan, manusia dapat memadukan keimanan dan pengorbanan. Seperti Siti Hajar yang terlempar dari keramaian Palestina menuju kesunyian padang pasir Lembah Bakkah (Makkah).

Gelombang pasang gairah keagamaan hendaklah tidak berhenti di keramaian permukaan. Semangat keagamaan harus mampu menyelam ke kesunyian kedalaman spiritualitas untuk memulihkan sayap keimanan dan sayap pengorbanan dalam kehidupan. Bersama tumbuhnya gairah keagamaan, tumbuh pula daya asketisme, altruisme, dan toleransi.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANCASILA TETAP MENJADI KEBUTUHAN PRIMER BAGI BANGSA INDONESIA

AIR MEMPUNYAI SIFAT YANG SANGAT MULIA

MENJAGA KEUTUHAN BANGSA BERBEKAL BHINNEKA TUNGGAL IKA