MEMAKNAI KEMBALI GAGASAN “EKONOMI TERPIMPIN” BUNG HATTA
Oleh:
William Hendri
Kader
ICMI Orda Kota Tanjungpinang
Gagasan ekonomi
terpimpin ini secara umum tertuang dalam karya buku Mohammad Hatta yang
berjudul Ekonomi Terpimpin. Buku ini hanya setebal enam halaman
romawi dan 62 halaman isi. Namun cukup mampu menyuarakan beberapa pokok pikiran
Hatta. Buku ini terbagi dalam dua bagian pembahasan. Bagian pertama diberi
judul ”Ekonomi Terpimpin”, yang mengulas pengertian ekonomi terpimpin secara
umum. Bagian ini meliputi sejarah kemunculan paham ekonomi terpimpin.
Selanjutnya bagian kedua diberi judul ”Ekonomi Terpimpin Bagi Indonesia”, yang
memaparkan tafsiran sosial ekonomi Hatta terhadap konstitusi Indonesia.
Tujuan ekonomi
terpimpin menurut Bung Hatta ialah mencapai kemakmuran rakyat dengan tenaga
produktif yang ada dalam masyarakat. Ekonomi terpimpin hanya dapat berjalan
dengan baik, kalau ada rencana yang teratur tentang membangun kemakmuran. Sebab
itu, rencana bekerja harus didasarkan pada upaya memperbesar tenaga beli rakyat
dari semulanya (yang harus naik merata). Bung Hatta menolak paham “national
income”, cara berpikir secara keseluruhan sebagai “aggregate thinking”. Sebab,
pendapatan nasional keseluruhannya bisa bertambah sedangkan pendapatan rakyat
masing-masing dapat ditekan serendah-rendahnya. Secara tegas, Bung Hatta
mengatakan bahwa ini tidak sesuai dengan cita-cita memperbesar kemakmuran
rakyat yang tertanam dalam konstitusi kita.
Bung Hatta
menggarisbawahi pentingnya “kedaulatan ekonomi”. Ia menyebutkan bahwa “dalam
ekonomi terpimpin itu harus dicapai kedaulatan ekonomi masyarakat dan bangsa
kita seiring dengan kedaulatan politik kita yang sepenuhnya telah kita miliki”.
Kedaulatan ekonomi harus sesuai dengan cita-cita kita untuk tidak tergantung pada
“ekonomi atau kekuatan asing”. Kedaulatan ekonomi itu dapat secara riil kita
miliki jika kita melaksanakan Pasal 33 UUD 1945 secara konsekuen. Kedaulatan
ekonomi berisikan “kemampuan masyarakat dan bangsa dengan semangat berdikari,
memiliki individualitas, oto-aktivitas, memiliki harga diri, kepercayaan pada
diri sendiri serta jiwa bangsa yang berkpribadian”. Bung Hatta menyatakan bahwa
isi dari kedaulatan ekonomi tersebut sebagai bentuk perwujudan dari
“mencerdaskan kehidupan bangsa yang sangat erat dengan pengembangan dan
pembangunan pengusaha kecil”.
Hatta mengemukakan dua
ciri yang seharusnya dimiliki oleh bentuk kegiatan ekonomi dasar dalam
masyarakat yang dianggap mampu membangun sistem perekonomian yang adil dan
berkesinambungan, yakni “usaha bersama” dan “dikerjakan secara kekeluargaan”.
Dua ciri ini pada dasarnya merupakan manifestasi dari koperasi dan vis a
vis menentang individualisme dan kapitalisme.
Terkait dengan ekonomi
terpimpin ini, Hatta menjelaskan bahwa ”Pada umumnya ekonomi terpimpin adalah
lawan dari pada ekonomi merdeka, yang terkenal dengan semboyannya laissez
faire. Apabila ekonomi merdeka menghendaki supaya pemerintah jangan campur
tangan dalam perekonomian rakyat dengan mengadakan peraturan ini dan itu,
ekonomi terpimpin menuju yang sebaliknya. Pemerintah harus aktif bertindak dan
mengadakan berbagai peraturan terhadap perkembangan ekonomi dalam masyarakat,
agar tercapai keadilan sosial..…”. Konsep inilah yang ”dibaca” Hatta dari Pasal
33 UUD 1945 “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Rudi
Hartono, pemimpin redaksi media Berdikari dalam tulisannya yang berjudul
Ketika Bung Hatta Bicara Ekonomi Terpimpin menyatakan bahwa konsep ekonomi
terpimpin adalah antitesa dari ekonomi liberal yang berpanglimakan ‘laissez
faire’. Jika ekonomi liberal selalu ingin mendepak peran negara di lapangan
ekonomi, maka ekonomi terpimpin justru mempromosikan sebaliknya. Pengusung
ekonomi terpimpin melihat negara bisa menjadi alat yang efektif dalam
mengorganisir ekonomi yang bisa melahirkan kemakmuran bagi rakyat.
Bung Hatta sangat
menentang ekonomi liberal. Ia menyatakan bahwa “membiarkan perekonomian
berjalan menurut apa yang dikatakan permainan merdeka (bebas) dari
tenaga-tenaga masyarakat berarti membiarkan yang lemah menjadi makanan empuk
dari yang kuat”. Menurut Hatta, ekonomi liberal meletakkan nasib rakyat di
tangan orang-seorang (individu kapitalis) yang menjadi ‘juru-mudi’ dalam segala
tindakan ekonomi. Akibatnya, ekonomi liberal hanya membawa kemerdekaan dan
kemakmuran bagi satu golongan kecil saja, yakni kaum kapitalis. Kepentingan orang-seorang
didahulukan dari masyarakat.
Konsep ekonomi
terpimpin punya dua nilai umum: Pertama, penolakan terhadap
individualisme; dan Kedua, memberikan tempat teristimewa kepada pemerintah
untuk mengatur dan memimpin dalam perekonomian. Hatta menyampaikan beberapa
tujuan prinsipil dari penyelenggaraan ekonomi terpimpin, yaitu: 1) menciptakan
kesempatan kerja penuh (full employment), sehingga rakyat terbebaskan dari
pengangguran; 2) standar hidup yang lebih baik; 3) mengurangi ketimpangan
ekonomi; dan 4) keadilan sosial.
Namun dengan gagasan
ekonomi terpimpin ini, Hatta tidak setuju dengan model ekonomi komunis.
Komunisme terlalu ‘pure collectivism’ atau kolektivisme murni. Komunisme tidak
memberi tempat kepada kepemilikan pribadi.
Selanjutnya Rudi
Hartono menyatakan bahwa bagi Hatta, konsep ekonomi terpimpin tetap harus
bekerja di bawah logika ekonomi: “mengejar hasil yang sebesar-besarnya dengan
tenaga yang sekecil-kecilnya.” Karena itulah ekonomi terpimpin ala Hatta juga
berbicara mengenai efisiensi dan efektifitas. Produksi harus dijalankan dengan
se-efisien mungkin tanpa menghisap kaum buruh. Penggunaan kapital harus efektif
dan terencana. Pembelian dan penggunaan barang/bahan baku harus secara
rasional. Dan selanjutnya ada beberapa prinsip ekonomi terpimpin yang diadopsi
oleh pasal 33 UUD 1945, yakni: 1) penentangan terhadap individualisme dan
kapitalisme; 2) pemberian peran kepada negara yang cukup besar dalam mengatur
dan memimpin jalannya perekonomian; 3) pemilikan sosial terhadap alat produksi;
dan 4) prioritas produksi mengutamakan pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan
rakyat.
Subiakto Tjakrawerdaja
dkk dalam buku Sistem Ekonomi Pancasila, menyatakan bahwa pemikiran Bung Hatta
tentang “ekonomi terpimpin” disampaikan kembali dalam pidato pengarahannya kepada
Lembaga Pengkajian Ekonomi Pancasila (LPEP) di Jakarta pada tanggal 20 Juni
1975, yakni ada beberapa poin penting diantaranya adalah sebagai berikut :
Pertama,
ekonomi terpimpin, memiliki pertumbuhan pendapatan nasional secara riil yang
tidak selayaknya dipandang dari segi “aggregate thinking”. Tujuan pertumbuhan
pendapatan nasional harus menjadi satu dengan memperbesar kemakmuran rakyat
seadil-adilnya, secara merata sesuai dengan cita-cita UUD 1945, sehingga
ekonomi terpimpin menuju kepada realisasi “jalur pemerataan”.
Kedua,
ekonomi terpimpin harus dapat menyusun dan menggerakkan ketentuan-ketentuan
ekonomi menuju ke “kesatuan ekonomi dan kerukunan ekonomi nasional”. Ekonomi
terpimpin “tidak selayaknya terjadi dominasi ekonomi” golongan tertentu
terhadap golongan yang lainnya, tidak pula ynag satu menekan yang lain.
Demikian pula dengan desa tidak diekploitasi oleh ekonomi kota, dan tidak lagi
terdapat perusahaan-perusahaan yang besar-besar hidup maju dan terpisah dengan
perusahaan yang kecil-kecil yang sulit kehidupannya. Kedua-duanya berperan
sejajar maju, berkembang bersama-sama dan mempunyai kaitan independen.
Ketiga,
ekonomi terpimpin harus mencerminkan “politik kemakmuran” Indonesia ialah
politik yang didasarkan kepada pembangunan tenaga beli rakyat. Manapun yang
hendak dicapai, semua itu hanya bisa terjadi dengan “memperbesar produksi” dan
menyediakan lapangan kerja penuh. Hubungan pendapatan yang semakin
menguntungkan terhadap harga hendaklah terutama tercapai pada barang-barang
yang terpenting bagi kebutuhan hidup, seperti makanan, pakaian, perumahan,
kesehatan dan pendidikan.
Dalam bagian akhir,
Bung Hatta menyimpulkan bahwa dalam UUD 1945 terdapat “peraturan tentang
melaksanakan ekonomi terpimpin” yaitu Pasal 33, Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 34.
Beliau menjabarkan bahwa Pasal 33 mengenai “sistem”, Pasal 27 ayat (2) mengenai
“hak sosial warga negara” dan Pasal 34 mengenai “tugas pemerintah”.
Selanjutnya, ia juga menyatakan bahwa Pasal 33 UUD 1945 adalah sendi utama bagi
politik perekonomian dan politik sosial Republik Indonesia. Dan untuk kesekian
kali beliau menyatakan bahwa dasar ekonomi rakyat mestilah “usaha bersama
dikerjakan secara kekeluargaan” yang berbentuk koperasi. Koperasi yang
dimaksudkan ialah Koperasi Indonesia yang menentang individualisme dan
kapitalisme secara fundamental. Namun demikian, Bung Hatta juga tidak
mengabaikan pentingnya perusahaan swasta. Menurutnya, di antara bidang koperasi
dan perusahaan negara (BUMN) masih luas daerah perekonomian yang dapat
diselenggarakan atas inisiatif partikelir seperti perusahaan sendiri, firma,
atau perseroan terbatas.
Dalam memaknai kembali
gagasan “Ekonomi Terpimpin” buah pemikiran Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI
pertama dan yang diberi gelar sebagai Bapak Koperasi Indonesia, apakah konsep
ini masih relevan kita realisaikan dalam bernegara di Republik ini? Sementara
itu, Pasal 33 UUD 1945 adalah merupakan salah satu manifestasi dari buah
pemikiran Hatta yang bernama “Ekonomi Terpimpin”. Dan pertanyaan selanjutnya,
apakah Pasal 33 UUD 1945 ini juga sudah benar-benar di realisasikan oleh
pemerintah? Adakah rakyat Indonesia sudah benar-benar merasakan kemakmuran atas
tanahnya sendiri? Di era Globalisasi / Perdagangan Bebas saat ini, apakah
pengusaha-pengusaha kecil yang lebih banyak jumlahnya telah mendapatkan proteksi
sepenuhnya oleh pemerintah? Beberapa pertanyaan ini dan masih ada banyak lagi
pertanyaan lainnya yang tentunya mesti dijawab oleh kita bersama.[]
Sudah pernah di publish pada
media:
https://lihatkepri.com/2019/09/24/memaknai-kembali-gagasan-ekonomi-terpimpin-bung-hatta/
pada tanggal 25 September 2019
Komentar
Posting Komentar