MENGIKIS KARAKTER KOLONIAL PASCA PENJAJAHAN
Oleh : William Hendri, SH., MH
Amat menarik ketika membaca buku karya Profesor Yudhie Haryono yang berjudul “Mental Kolonial Studi Terhadap Karakter Kolonial-Kumpeni”. Beliau mengupas habis terkait mental bangsa Indonesia pasca usainya kolonisasi penjajahan Belanda di Indonesia yang membekas dan menjadi karakter melekat bagi bangsa Indonesia baik dari tingkat pemimpin sampai dengan masyarakatnya. Sungguh waktu yang cukup lama masa penindasan secara mental (imateril) disamping penghisapan terhadap SDA (materil) yang dilakukan oleh penjajah kepada masyarakat dan bumi Indonesia, sehingga karakter feodal masyarakat Indonesia sulit untuk dikikis dan dihilangkan.
Melihat kondisi seperti,
bagaimana mungkin Indonesia dapat berdiri sendiri secara mandiri apabila
pemimpin dan rakyatnya masih dibayang-bayangi oleh mental tradisi feodalis yang
disebakan oleh trauma sejarah penjajahan yang dialami. Dengan ini maka akan
sulit kita untuk mewujudkan apa yang dikatakan oleh Soekarno untuk dapat
menjadi bangsa yang berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan
berkepribadian secara sosial budaya.
Yudhie Haryono mengatakan
bahwa keadaan dan nasib serta masa depan suatu bangsa/masyarakat/komunitas
ditentukan oleh karakter pemimpinnya. Sebab, pemimpinlah yang bertanggungjawab
menggembalakan dan menggiring domba-domba agar tidak tersesat. Pemimpinlah yang
bertugas untuk memperbaiki ahklak. Pemimpinlah orang yang bertanggung jawab
untuk menyuntikkan kesadaran revolusioner. Karena itu rumusnya: negeri
pecundang pastilah dipimpin oleh pemimpin berkarakter pecundang pula.
Masyarakat penakut pastilah dipimpin oleh pemimpin berkarakter penakut. Negeri
babu akan selamanya babu jika pemimpinnya berkarakter babu.
Selanjutnya, dalam
catatan riset yang dilakukan oleh Yudhie Haryono, bahwa sebenarnya karakter
asli warga negara (pedesaan) Indonesia adalah memiliki karakter Kejujuran, Rasa
hormat, Autentisitas, Kesetiaan, Martabat, Idealisme, Berbudi luhur,
Kewarganegaraan, Kepatuhan, Tanggung jawab, Kerja sama, Keberanian, Kendali
diri, Kepercayaan, Kelenturan, Kerja keras, Penuh harapan, Iman, Cinta kasih,
Belas kasih, Toleransi, Pengampunan, Kemurahan hati, Keadilan, Kerendahan hati,
Bersyukur, Humor, Kesantunan, Cita-cita, Keingintahuan, Antusisme, Keunggulan,
Ihklas dan Kepuasan hidup.
Begitu juga catatan Peter
Carey – yang mengutip AHW Baron De Kock – karakter sesungguhnya dari masyarakat
pribumi adalah bersahaja, rapi, tertib, kreatif dan bangga dengan diri sendiri.
Tetapi, akibat penjajahan yang berlangsung hingga kini, karakter yang baik
tersebut hilang. Lalu, digantikan oleh karakter buruk warisan kolonial yang
kemudian dikembangkan menjadi karakter kebinatangan (karakter rimba raya):
singa, harimau, gajah, ular beludak di mana yang kuat menaklukkan yang lemah,
yang serakah menggigit yang kalah sebagaimana yang disampaikan oleh Frans M.
Parera. Inilah karakter yang jika digambarkan, menjadi berkuasa di atas
penderitaan sesama dan berhahagia di atas kesengsaraan bersama.
Di dalam bukunya,
kemudian Yudhie Haryono menyebutkan dari 34 jenis karakter penguasa pribumi
yang terbentuk akibat kolonialisme. Tetapi hanya lima terbesar yang
dikemukakan. Kelimanya adalah: 1) Inlander; 2) Mendendam; 3) Melupa; 4) Miopik
(rabun); dan 5) Instan (orientasi hasil). Dengan keberadaan penguasa
berkarakter seperti inilah Indonesia hanya mengalami kemerdekaan secara de jure
namun tidak pernah de facto 100%.
Pertama. Karakter
Inlander. Dalam KBBI, inlander dimaknai sebagai “sebutan bagi penduduk
asli di Kepulauan Nusantara (Indonesia) oleh pemerintah Hindia Belanda pada
masa penjajahan Belanda.” Terlihat disana, inlander hanya dimaknai sebagai kata
benda dan dalam posisi lemah jika dilihat dari perspektif sosio-historis.
Karena dalam sejarah kolonial, “penduduk asli” berada di posisi terendah dalam
strata masyarakat Nusantara, setelah Orang Eropa dan Orang Timur Asing dan ini dilegalkan
dalam RR (Regelings Reglement) 1854, kolonial-kumpeni Belanda membagi penduduk
Hindia Belanda menjadi 3 yaitu : Erupeanen (keturunan eropa), Vreemde
Oosterlingen (keturunan Timur Jauh: Jepang, Tionghoa, China) dan Inlanders
(pribumi). Undang-undang ini melembagakan gagasan tentang ras inlander yang
disamakan dengan ras budak, monyet, pemalas, bodoh, terbelakang, dan rendah.
Alasan yang paling utama adalah karena orang-orang inlander dianggap punya
sifat buruk seperti malas, bodoh, percaya takhayul, suka perang, pencemburu,
tidak beradab. Yang mensifati orang-orang pribumi Nusantara tidak lain adalah
para kolonialis. Ironisnya, para pemimpin pribumi menerima pensifatan itu.
Sehingga, jadilah para pemimpin Nusantara dulu dan kini merasa inferior/rendah
diri/minder, penakut, pengecut jika berhadapan dengan penjajah dan kekuatan
asing lainnya. Karakter inlander para elite penguasa pribumi adalah bentukan
sekaligus warisan kolonialisme. Karakter inlander ini meliputi rendah diri,
tidak percaya diri, penakut, minder, merasa inferior, merasa dirinya lemah,
bersedia bahkan senang menjadi jongos bangsa lain. Pemimpin berkarakter
inlander ini pada gilirannya tidak yakin dengan kekuatan poilitik, ekonomi,
agama, pendidikan dan teknologi bangsa sendiri. Lebih-lebih, pemimpin
berkarakter inlander ini justru senang berada di dalam ketiak bangsa lain.
Karakter ini merupakan karakter utama warisan kolonial yang meneguhkan
neokolonialisme.
Kedua. Karakter
Mendendam. Karakter mendendam merupakan tingkah-laku manusia yang gemar
membalas perlakuan buruk yang pernah diterimanya. Makna substantifnya adalah
suatu tindakan interaksi sosial dari manusia atau selain manusia. Dalam
Psikologi, perbuatan ini termasuk ke dalam interaksi resiprositas (balas
membalas) yang akan menyebabkan pelakunya mendapatkan perasaan kepuasan batin.
Namun, seorang pendendam akan melakukan pilihan unik ketika objek dendamnya
dianggap punya kekuatan lebih besar, Pendendam justru akan berupaya untuk
menyerupai perangai si subjek yang pernah menyakitinya, sambil mengalihkan
objek dendamnya pada objek lain yang lebih lemah. Dendam penguasa pribumi bisa
jadi merupakan kekuatan internal untuk menyingkirkan kekuasaan kolonialis.
Namun kenyataannya, penguasa pribumi itu sudah terlebih dahulu inlander. Sehingga,
rasa dendam tidak diredakan dengan ingin menghancurkan kolonialis. Namun justru
diredakan dengan ingin memiliki apa yang dimiliki kolonialis sembari ingin
menjadi kolonialis baru. Jadi, mendendam tidak harus diredakan lewat cara
perlawanan balik langsung terhadap kolonialis, tapi dengan cara meniru perangai
para kolonialis sambil mempersiapkan diri menjadi kolonialis baru. Kaum
penguasa pribumi yang sejak pertengahan abad 19 sudah inferior dihadapan
kumpeni tidak bisa banyak berkutik. Sebaliknya, praktik-praktik yang dilakukan
oleh para kolonialis itu ditiru oleh para elite penguasa pribumi. Motifnya
jelas, dendam gaya inlander. Di sinilah ide dan praktek kolonialisme Belanda
mulai mengalir dalam darah para penguasa pribumi.
Ketiga. Karakter Melupa.
Karakter inlander plus mendendam menggiring pada munculnya karakter ketiga
yaitu mengkhianati warga negara dan konstitusi. Karakter ini disebut sebagai
karakter melupa (lupa warga negara, lupa konstitusi). Ciri utama karakter baru
ini adalah tidak peduli bahkan mencelakai rakyatnya sendiri. Dendam dan amarah
akibat tekanan dari para kolonialis memaksa para elite penguasa pribumi
melampiaskan kekesalannya pada pihak yang lebih lemah. Maka rakyatnya sendiri
adalah pihak yang paling dekat dan paling mungkin untuk dijadikan sasaran
ekploitasi. Kompleks psiko-sosial inilah yang dialami oleh para penguasa
pribumi. Membenci penguasa kolonial, namun karena takut, mereka melampiaskan
kebenciannya pada objek yang lebih lemah, yaitu rakyatnya. Kolonialisme telah
membentuk karakter buruk dalam diri penguasa pribumi: melayani kepentingan
penguasa kolonial dan menginggkari kepentingan rakyatnya. Infeksi karakter ini
membuat para penguasa pribumi segera lupa pada kepentingan rakyat. Ia akan lupa
konstitusi. Lupa rakyat dan lupa konstitusi. Mereka (penguasa pribumi) dipaksa
oleh penjajah, lalu terbiasa untuk menjalankan perintah dari atas
(superior-penjajah). Situasi seperti ini menjadi ladang subur tumbuh
berkembangnya karakter melupa: lupa warga negara dan pada gilirannya, lupa
konstutusi, lupa pada janji-janji kemerdekaan. Padahal, revolusi pemuda yang
melahirkan kemerdekaan dan memproklamirkan pembebasan tanah air adalah revolusi
melawan lupa. Tetapi, gagasan ini tenggelam oleh amuk globalisasi yang
diinfeksi oleh karakter kolonial–kumpeni baru.
Keempat. Karakter
Miopik. Selain inlander, mendendam dan melupa, karakteristik penguasa
pribumi lainnya adalah miopik. KBBI memberi petunjuk bahwa istilah miopia
digunakan untuk menunjukkan seseorang yang tidak bisa melihat objek yang jauh
(rabun). Karakter ini digambarkan sebagai karakter orang yang tidak mampu
berpikir secara baik karena pengetahuannya sempit dan sangat terbatas.
Sehingga, orang berkarakter miopik biasanya berpikir pendek dan dangkal
akalnya. Ciri paling kentara penguasa berkarakter miopik adalah ia hanya
percaya (beriman 100 persen) pada pemikiran Barat saja sehingga mudah menyerah,
tidak kreatif, tidak progresif, tidak kritis, dan tentu saja tidak percaya
diri. Penguasa berkarakter miopik adalah penguasa yang alur berpikirnya meniru
pemikiran yang berasal dari sumber eksternal secara tidak kritis. Ayah kandung
dari karakter ini adalah inlander (pengecut, penakut, budak). Seseorang yang
inlander tak percaya dengan kemampuan dirinya. Ia tak merdeka sejak dalam
pikiran, sehingga mau diperintah untuk menerima sesuatu yang kurang tepat untuk
dipikirkan atau dilakukan. Pemikiran Tan Malaka tentang intelektual aktif dan
intelektual pasif adalah sumbangan kritik terhadap pemimpin-pemimpin seperti
itu. Intelektual pasif bermental budak. Oleh karena itu, ia tidak mampu
berpikir secara kreatif dan berpikir merdeka. Sebaliknya, intelektual aktif
tidak bermental budak, sehingga mampu berpikir merdeka dan kreatif. Sistem
kognisi serba Barat inilah yang membuat para penguasa pribumi berkarakter
miopik (rabun, pendek akal). Ia enggan mempertimbangkan pengetahuan yang tidak
berasal dari Barat. Padahal, pengetahuan Barat memiliki 6 ide yang meratakan
jalan bagi kolonialisme dan mampu menghancurkan masa depan negara postkolonial
jika penguasa pribumi beriman pada pengetahuan itu. Enam ide itu adalah: 1)
distingsi; 2) demonisasi; 3) alienasi; 4) liberalisasi; 5) kapitalisasi; dan 6)
privatisasi. Seluruh ide itu dapat ditemukan di balik pengetahuan Barat yang
dibawa oleh kolonialis yang disebut sebagai ideologi kolonial. Seperti
Soekarno, Natsir, Bung Hatta dan tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan lainnya
dengan tegas menolak menjadi miopik. Sayangnya, sikap dan karakter seperti
tokoh-tokoh tersebut hanya sedikit dan sulit ditemukan dalam diri penguasa saat
ini. Kenyataan bahwa para pemimpin di republik ini kebanyakan membabi buta
menjalankan praktik liberalisasi, privatisasi, dan kapitalisasi dan ini adalah
bukti bahwa mereka berkarakter miopik.
Kelima. Karakter Instan. Menurut KBBI, makna instan adalah langsung. Mudah dilakukan dan cepat saji. Makna karakter instan adalah tidak banyak mengalami proses panjang dan melelahkan. Akhirnya, mereka lahir sebagai generasi pengekor dan imitator. Ciri-ciri penguasa berkarakter instan terlihat pada acara berpikir yang dituntun oleh logika hasil, bukan logika proses; suka memburu trend negatif; lebih suka menjadi konsumen daripada produsen; mengagungkan hedonisme; hilangnya jiwa perjuangan dan pengabdian. Ini semua lantaran pikirannya tidak memiliki banyak perspektif. Akibatnya, keputusan-keputusan yang dipilih tidak melalui proses pertimbangan yang matang, bahkan tanpa pertimbangan. Oleh karena itu wajar jika impresi paling utama dari pemimpin berkarakteristik ini adalah yang penting hasil, bukan proses. Lagi-lagi, kolonialisme-lah penyebab munculnya karakteristik ini. Kebiasaan tidak berpikir aktif-kreatif-kritis inilah yang menuntun seseorang untuk berpikir instan. Proses tidak penting, yang penting hasil. Turunan dari berpikir instan ini adalah perilaku korupsi, perilaku mencontek, merampok, menipu dan berbohong serta rakus. Semua ini jelas-jelas erat bertalian dengan kebiasaan berpikir instan. Karakter ini bisa diputus jika kemampuan berpikir aktif dikembangkan. Sayang, pendidikan kita sampai saat ini masih mewarisi tradisi kolonial yang tidak diarahkan untuk mengembangkan kapasitas berpikir secara aktif.
Maka untuk mengikis lima karakter peninggalan penjajah ini, tentunya kita sebagai bangsa, baik dari pemimpin hingga masyarakat Indonesia secara keseluruhan harus dapat kembali meniru dan meresapi semangat dan spirit para tokoh-tokoh kemerdekaan Indonesia seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Natsir, Tan Malaka dan lainnya yang menolak dengan tegas penjajahan dalam bentuk apapun serta menolak penularan karakter kolonial warisan penjajahan. Di era ini, penjajahan fisik di bumi Indonesia memang sudah tidak ada lagi, namun pejajahan non fisik sekarang sedang berlaku dan melanda Indonesia, baik penjajahan melalui media regulasi, sistem dan lain sebagainya oleh asing. Ada benarnya kata Soekarno bahwa “revolusi di Indonesia belum selesai” maka menjadi tugas kita segenap masyarakat Indonesia untuk mencapai cita-cita revolusi yang di inginkan oleh Soekarno Presiden pertama itu, sehingga apa yang dikatakan Tan Malaka bahwa “Indonesia wajib Merdeka 100%” benar-benar terwujud. Selanjutnya untuk mencapai kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat Indonesia, kita wajib menyatakan perang terhadap sistem ekonomi kapitalis yang sudah menyengsarakan rakyat Indonesia 3 abad lamanya yang sekarang sudah bermetamorfosis dalam bentuk yang baru yakni neokapitalisme, dengan ini kita dapat menangkalnya dengan menggunakan konsepnya “Ekonomi Terpimpin” nya Bung Hatta, terutama penggalakan pada Ekonomi Koperasi yang merupakan wujud dari Sistem Ekonomi Pancasila demi melindungi masyarakyat kecil seluruhnya dalam berpenghidupan yang baik di Indonesia.[]
Sudah pernah di publish pada media:
https://lihatkepri.com/2019/09/25/mengikis-karakter-kolonial-pasca-penjajahan/
pada tanggal 25 September 2019
Komentar
Posting Komentar