PEMILU DAN PEREMPUAN
Oleh : William Hendri, SH.,MH.
(Kepala Subbag Teknis
Pemilu dan Hupmas KPU Kota Tanjungpinang dan Pengurus ICMI Kota Tanjungpinang)
Pemilihan Umum atau
Pemilu merupakan rekruitmen orang-orang untuk menduduki jabatan politik
tertentu seperti: anggota DPR, Kepala Daerah dan Presiden dengan tata cara yang
diatur melalui peraturan perundang-undangan. Melalui Pemilu, rakyat memiliki
kesempatan melakukan evaluasi terhadap peserta Pemilu, partai politik dan calon
anggota DPR, untuk menentukan apakah mereka masih pantas diberi kepercayaan. Di
samping itu, dalam proses menetukan pilihan terhadap calon pemimpin tersebut,
rakyat dapat menentukan pilihannya dengan mempertimbangkan visi dan misi calon
yang akan dipilihnya, hal ini menunjukkan bahwa melalui Pemilu, rakyat
menentukan masa depan daerah, negara dan bangsa, sesuai yang mereka inginkan.
Pemilu menjadi tempat
rakyat menggantungkan harapan adanya perubahan ke arah keadaan yang lebih baik,
lebih adil dalam distribusi sumber daya, lebih memberi ruang bagi rakyat untuk
berpartisipasi dan akhirnya mewujudkan pemerintahan yang menghormati,
mempromosikan melindungi dan memenuhi HAM dan mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakat. Harapan yang digantungkan oleh rakyat pada pemilu tersebut
bukanlah yang mustahil untuk diwujudkan. Harapan tersebut akan dapat
diwujudkan, sepanjang pemilu diselenggarakan dan dilaksanakan secara bersih dan
damai serta taat pada asas-asas penyelenggara pemilu yang Luber dan Jurdil.
Pemilu sering disebut
sebagai “Pesta demokrasi” penempatan kata “Pesta” dimaksudkan untuk memberi
makna bahwa pemilu adalah suatu peristiwa yang menyenangkan atau menggembirakan.
Hal ini dimaksudkan agar setiap warga pemilik hak pilih tidak merasa takut dan
berat hati untuk mengikuti pemilu, sehingga semua pihak hadir, memberikan
partisipasinya dalam “Pesta demokrasi” tersebut.
Untuk mewujudkan pemilu
sebagai sarana menciptakan pemerintahan yang demokratis dan mensejahterakan
rakyat, diperlukan partisipasi politik sejati seluruh rakyat. Secara umum
partisipasi politik adalah bentuk keikutsertakan seseorang dalam aktifitas
politik. Dalam hal ini ada beberapa bentuk partisipasi politik yang dikenal
diantaranya yaitu : 1) Keikutsertaan seseorang dalam lembaga pengambilan
keputusan publik atau lembaga negara yang dipilih melalui mekanisme pemilihan;
2) Keikutsertaan seseorang di dalam suatu partai politik atau organisasi
politik; 3) Keikutsertaan seseorang secara aktif dalam kegiatan politik tanpa
menjadi anggota suatu organisasi politik; 4) Keikutsertaan seseorang dalam
pemilihan umum untuk merekrut orang-orang untuk menduduki jabatan politik. Maka
dengan ini, pada dasarnya partispasi sejati rakyat hanya akan dapat terwujud
bila pemerintah, partai politik dan penyelenggara pemilu aktif menyelenggarakan
pendidikan politik dan pendidikan pemilih.
Pada kesempatan lain,
sebagai suatu proses rekruitmen jabatan politik, pemilu sering dianggap sebagai
medan pertarungan perebutan kekuasaan. Layaknya sebuah pertarungan, maka hasil
akhir dari pemilu adalah adanya pihak yang kalah dan pihak yang menang. Pihak
yang menang adalah mereka yang akan menduduki jabatan politik dan memiliki
kekuasaan. Cara pandang terhadap pemilu sebagai medan pertarungan perebutan
kekuasaan ini, mengakibatkan penyelenggaraan dan pelaksanaan pemilu rawan akan
praktek-praktek tidak terpuji, seperti : kecurangan, diskriminasi dan
kekerasan. Dari praktek-praktek tidak terpuji tersebut, golongan perempuanlah
yang selalu menjadi korbannya.
Kecurangan Terhadap
Perempuan Saat Pemilu
Perempuan menjadi
rentan korban dari praktek kecurangan, disebabkan oleh: 1) perempuan bersikap
anti politik atau apolitis. Sikap ini terbentuk karena selama Orde Baru,
berpuluh-puluh tahun, rakyat termasuk perempuan dilarang berpolitik. Budaya
patriakhi yang mengajarkan bahwa politik dianggap sebagai urusan laki-laki.
Sikap a-politis perempuan inilah yang kemudian menjadikannya tidak waspada
terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya praktek curang; 2) rendahnya akses
perempuan terhadap Informasi. Perempuan adalah pihak yang paling banyak tidak
memahami seluk-beluk kepemiluan. Rendahnya akses perempuan terhadap informasi
tentang kepemiluan ini, disebabkan oleh karena penyuluhan-penyuluhan lebih
banyak mengundang kepala keluarga dan diselenggarakan pada malam hari; dan 3)
Keterasingan perempuan. Masih banyak perempuan, khususnya yang berada didaerah
pedesaan, wilayah terpencil, terluar dan perbatasan, yang buta huruf dan tidak
cakap berbahasa Indonesia. Masyarakat di lingkungan terasing, cenderung
mempercayai dan memaklumi tindakan orang lain. Sikap ini, kemudian dimanfaatkan
oleh pihak-pihak tertentu untuk berbuat curang.
Kemudian bentuk-bentuk
kecurangan yang mengintai perempuan, antara lain: 1) secara sengaja nama-nama
perempuan tidak dimasukkan dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Tujuan tindakan
ini adalah untuk menghilangkan hak pilih perempuan; 2) Adanya penolakan
memberikan layanan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) Dan Kartu Keluarga (KK)
dengan tujuan agar yang bersangkutan tidak dapat mengurus hak pilihnya,
manakala namanya tidak ada dalam DPT; 3) Adanya tindakan manipulasi data dan
informasi, seperti misalnya menggunakan forum pendidikan pemilih untuk
mengarahkan pada partai atau nama tertentu; 4) Secara sengaja menahan, atau
menyembunyikan atau menggelapkan surat undangan pemilih dengan tujuan
menghalangi pemilih menggunakan hak pilihnya, dan masih banyak lagi contoh
lainnya.
Diskriminasi Terhadap
Perempuan Saat Pemilu
Praktek-praktek
diskriminasi terhadap perempuan dalam pemilu masih tetap saja terjadi,
diantaranya adalah : 1) menutup akses perempuan untuk memperoleh pendidikan dan
informasi terkait pemilu. Diskriminasi dapat dilakukan secara sengaja tidak
melibatkan perempuan atau mengundang perempuan untuk berpartisipasi, misalnya
kegiatan diselenggarakan pada waktu malam hari, sehingga perempuan tidak dapat
mengikuti pendidkan tersebut; 2) adanya pihak-pihak yang merintangi perempuan
pemilih yang akan menggunakan hak pilihnya, misalnya pekerja rumah tangga yang
dilarang oleh majikannya untuk pulang ke daerahnya untuk mengikuti pemilu,
buruh pabrik yang tidak mendapatkan ijin atau cuti untuk memilih; dan beberapa
contoh lainnya.
Kekerasaan Terhadap Perempuan
Saat Pemilu
Kekerasan yang sering
terjadi saat pemilu kepada perempuan yang mengakibatkan perempuan mengalami
penderitaan secara fisik dan mental serta diliputi rasa takut dan kehilangan
rasa aman sekaligus merupakan penghancuran harga diri dan martabat perempuan.
Misalnya: 1) kekerasan terhadap perempuan pada masa kampanye, terutama saat
pengerahan dan pengumpulan massa dalam suatu ruangan terbuka, yang
mengakibatkan berbagai pelecehan seksual terhadap perempuan; 2) pemaksaan
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap perempuan untuk memilih partai
politik atau calon pemimpin tertentu, dan beberapa contoh lainnya.
Praktek-prkatek
kecurangan, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan pada saat pemilu
tentunya merupakan tindakan yang melanggar prinsip demokrasi dan asas-asas
pemilu yang LUBER dan JURDIL. Dan hal-hal ini harus benar-benar kita sikapi
bersama, terutama lembaga-lembaga yang bertanggung jawab mengayomi hak-hak
perempuan, misalnya : Lembaga Perlindungan Perempuan yang dinaungi pemerintah,
Lembaga Swadaya Masyarakat khusus perlindungan hak-hak perempuan dan
lembaga-lembaga lainnya yang mengurus, memperjuangkan dan mempertahankan
hak-hak perempuan dalam hal politik.
UUD 1945 dan berbagai
peraturan perundangan di Indonesia, mengakui bahwa setiap warga negara,
laki-laki maupun perempuan, memiliki hak pilih yang sama. Hak pilih adalah hak
untuk memilih dan hak untuk dipilih. Sejak pemilu pertama tahun 1955, perempuan
Indonesia telah memiliki hak pilih. Padahal saat itu, banyak negara yang
mengaku sebagai negara demokratis, tetapi tidak memberikan hak bagi perempuan
untuk memilih dalam pemilu.
Pengakuan Indonesia
terhadap hak pilih perempuan, tidak saja diatur dalam peraturan perundangan
nasional, tetapi juga mengesahkan instrument Hukum Internasional,
sebagai peraturan nasional, yaitu Konvensi Mengenai Hak-Hak Politik Perempuan (Convention
on The Political Right of Womwn).
Konvensi mengenai
Hak-Hak Politik Perempuan, di setujui oleh Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dengan resolusi No 640 (III) pada 20 Desember 1952 dan
dinyatakan berlaku sejak 7 Juli 1954. Indonesia mengesahkan (ratifikasi)
konvensi ini, melalui Undang-undang No 68 Tahun 1958 yang disahkan pada 16
Desember 1958.
Pasal-pasal penting
dalam Konvensi ini adalah : Pasal 1, Perempuan berhak untuk
memberikan suara dalam semua pemilihan dengan syarat-syarat yang sama dengan
laki-laki, tanpa diskriminasi; Pasal 2, Perempuan berhak untuk
dipilih bagi semua badan yang dipilih secara umum, diatur oleh hukum nasional
dengan syarat-syarat yang sama dengan laki-laki, tanpa ada diskriminasi;
dan Pasal 3, Perempuan berhak untuk memegang jabatan publik dan
menjalankan semua fungsi publik, diatur oleh hukum nasional dengan syarat-syarat
yang sama dengan laki-laki, tanpa ada diskriminasi.
Dengan ini, pada
intinya Indonesia telah sejak lama mengakui hak-hak politik warga negaranya
yang berjenis kelamin perempuan, walau seiring perjalanan bangsa Indonesia, hak
politik tersebut mengalami pasang surut.
Pemilih perempuan, pada
dasarnya sangat rentan untuk kehilangan perannya sebagai subjek dalam pemilihan
umum. Hal ini terjadi karena sebagian besar perempuan pemilih terkadang tidak
memiliki kuasa atas dirinya. Ketika masih lajang, perempuan berada dalam kuasa
orang tuanya. Saat telah menikah, mereka berada dalam kuasa suaminya. Orang
tua, terutama ayah dan suaminyalah yang memutuskan banyak hal terkait kehidupan
perempuan. Oleh karenanya saat menggunakan hak pilihnya, perempuan sangat rentan
untuk mengalami pengaruh dari suami dan orangtuanya, sehingga mereka tidak
dapat secara bebas dan mandiri menentukan pilihannya. Ketidakmandirian
perempuan dalam memilih menjadi semakin mutlak, ketika perempuan tidak berdaya
secara politik karena rendahnya pengetahuan mereka terhadap hak-hak politiknya.
Untuk memberdayakan
perempuan sebagai pemilih mandiri yang dapat menjadi subjek dalam pemilihan
umum, diperlukan pendidikan politik bagi perempuan dan laki-laki. Yaitu
pendidikan yang membuat perempuan menyadari hak-hak politik yang dimilikinya
dan menjadikan laki-laki terutama suami atau ayah mereka lebih menghargai dan
menghormati hak-hak politik perempuan. Sehingga perempuan sebagai pemilih dapat
sungguh-sungguh menjadi subjek.
Pemilu dan partisipasi
politik perempuan memiliki hubungan yang sangat erat. Pemilu adalah wujud dari
pengakuan dari pentingnya partisipasi politik perempuan. Sebaliknya,
partisipasi politik perempuan adalah kunci utama keberhasilan dan penentu
kualitas penyelenggara pemilu.
Perempuan pemilih
adalah subjek penentu. Karena perempuan pemilih menentukan, proses politik
seperti apakah yang terjadi dalam pemilu. Pilihan terhadap proses politik ini
juga akan menentukan hasil pemerintahan yang akan datang.
Sudah pernah di publish pada media:
https://lihatkepri.com/2017/08/07/pemilu-dan-perempuan/
pada tanggal 7 August 2017
Komentar
Posting Komentar