PENINGKATAN PARTISIPASI PEMILIH PADA PEMILU MENJADI TANGGUNG JAWAB BERSAMA
Oleh : William Hendri, S.H., M.H.
(Ketua PW Gerakan Alam Pikir Indonesia – Kota Tanjungpinang)
Penyelenggara Pemilihan Umum pada Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 menyebutkan
bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Terkait hal ini, Prof. Jimly
Asshiddiqie memberikan komentar dalam bukunya bahwa “komisi dimaksud hanya
dirumuskan dengan huruf kecil yaitu, ‘suatu komisi pemilihan umum’, pasal ini
tidak menentukan secara ekplisit apa nama komisi itu, sehingga terserah kepada
DPR bersama Pemerintah untuk menentukannya dalam Undang-undang. Misalnya,
Undang-undang dapat saja memberi nama kepada komisi ini dengan nama ‘Komisi
Pemilihan Nasional’, ‘Komisi Pemilihan Pusat’, ‘Komisi Pemilihan Daerah
Provinsi’ dan sebagainya”. Perwujudan dari Pasal 22 E ayat (5) UUD 1945
tersebut ternyata diaplikasikan didalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011
tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dan lembaga penyelenggara pemilu tersebut
ditetapkan dengan sebutan Komisi Pemilihan Umum, sebagai lembaga negara yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri (independen). Namun di sisi lain,
ternyata di dalam Undang-undang tersebut, bahwa penyelenggara pemilu tidak
hanya Komisi Pemilihan Umum tetapi Badan Pengawas Pemilu (BAWASLU) dan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang juga merupakan penyelenggara pemilu
yang berdiri sendiri dan merupakan satu kesatuan.
Secara awam, dalam melihat tinggi atau rendahnya tingkat partisipasi
pemilih pada setiap pemilihan umum, selalu mata kita akan tertuju kepada sejauh
mana kinerja lembaga yang disebut dengan Komisi Pemilihan Umum. Padahal tinggi
atau rendahnya partisipasi pemilih pada setiap pemilihan umum tidak semata-mata
mesti dan harus dibebankan kepada Komisi Pemilihan Umum. Ukuran terhadap
capaian agar banyaknya masyarakat berpartisipasi pada setiap pemilihan umum
mesti menjadi tugas, tanggung jawab serta kewajiban kita bersama, baik oleh
peserta pemilu itu sendiri seperti partai politik, calon anggota legislatif,
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dan lainnya. Juga pada pemerintah
pusat ataupun pemerintah daerah, terkhusus untuk pemerintah daerah juga
memiliki kewajiban dan tanggung jawab secara moral menjalankan amanat
konstitusi dalam mendukung penyelenggaraan pemilu di daerahnya masing-masing
terutama demi peningkatan partisipasi pemilih. Contoh sederhananya, kepala
daerah dapat menginstruksikan kepada misalnya kepala dinas pendidikan agar
dapat membantu untuk melakukan sosialisasi kepada siswa SMA sebagai pemilih
pemula untuk tidak Golput. Kemudian pada dinas perdagangan, agar dinas tersebut
membantu melakukan sosialisasi anti Golput kepada pedagang, juga dapat pula
pada Badan Kesbangpol untuk melakukan sosialisasi kepada berbagai Ormas,
Organisasi Kepemudaan, Organisasi Paguyuban dan lainnya untuk tidak Golput pada
saat pelaksaaan pemungutan suara pada pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan
anggota legislatif.
Pada dasarnya, tujuan penyelenggaraan pemilu menurut Prof. Jimly
Asshiddiqie terbagi menjadi 4 (empat), yaitu : 1) untuk memungkinkan terjadinya
peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai; 2) untuk
memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan
rakyat di lembaga perwakilan; 3) untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat;
dan 4) untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.
Berkaitan dengan pelaksanaan prinsip hak-hak asasi warga negara dalam
hal hak politik untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum sudah dijamin di
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM pasal 23 ayat (1) yaitu :
“setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik” dan kemudian
pada pasal 43 ayat (1) yaitu : “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan
memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara
yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.
Hak politik warga negara yang mencakup hak untuk memilih dan dipilih
sebenarnya sudah dinyatakan secara tersirat di dalam UUD 1945, yang mana
jaminan hak pilih secara tersirat dapat ditemukan di dalam UUD 1945 pada pasal
27 ayat (1) dan (2); pasal 28; pasal 28D ayat (3); dan pasal 28E ayat (3),
sementara untuk hak memilih secara tersirat dapat ditemukan di dalam pasal 1
ayat (2); pasal 2 ayat (1); pasal 6A ayat (1); pasal 19 ayat (1); dan pasal 22C
ayat (1).
Dengan adanya jaminan akan hak memilih maupun hak dipilih di dalam
setiap pemilihan umum, namun masih saja ditemukan rendahnya tingkat partisipasi
pemilih di berbagai daerah sebagai contoh pada pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah maupun pada pemilihan anggota legislatif tinggat daerah.
Rendahnya partisipasi pemilih sehingga munculnya yang dikenal dengan sebutan
golongan putih atau “golput” tentunya memiliki berbagai macam sebab.
Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat golongan.
Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu
(seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke
tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya
dinyatakan tidak sah. Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak
terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga
statistik, penyelenggara pemilu). Ketiga, golput politis, yakni mereka yang
merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa
pileg/pilkada akan membawa perubahan dan perbaikan. Keempat, golput ideologis,
yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau
terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi
lain (dalam Hery M.N. Fathah).
Jika kita melihat pada pemilihan umum di Provinsi Kepulauan Riau
terkhusus pada daerah Kota Tanjungpinang, baik pada pemilihan kepala daerah
(pilkada) Kota Tanjungpinang maupun pemilihan anggota DPRD Kota Tanjungpinang
(pileg) telah mengalami proses peningkatan di setiap periode pemilihan. Tingkat
partisipasi Pilkada Kota Tanjungpinang tahun 2007 : daftar pemilih sebanyak
124.075, pengguna hak suara sebanyak 67.159 (54.13 %) dan yang tidak
menggunakan hak suara sebanyak 56.916 (45.87 %) lalu tingkat partisipasi
Pilkada Kota Tanjungpinang tahun 2012 : daftar pemilih sebanyak 153.481,
pengguna hak suara sebanyak 87.290 (56.87 %) dan yang tidak menggunakan hak
suara sebanyak 66.191 (43.13 %). Artinya persentase partisipasi Pilkada Kota
Tanjungpinang pada tahun 2007 sejumlah 54.13 % mengalami peningkatan
pada Pilkada Kota Tanjungpinang pada tahun 2012 sejumlah 56.87 %.
Kemudian tingkat partisipasi Pileg Kota Tanjungpinang tahun 2009 :
daftar pemilih sebanyak 133.465, pengguna hak suara sebanyak 81.316 (60,93 %)
dan yang tidak menggunakan hak suara sebanyak 52.149 (39,07 %) lalu tingkat
partisipasi Pileg Kota Tanjungpinang tahun 2014 : daftar pemilih sebanyak
150.315, pengguna hak suara sebanyak 102.026 (67.87 %) dan yang tidak
menggunakan hak suara sebanyak 48.289 (32,13 %). Dengan ini, persentase
partisipasi Pileg Kota Tanjungpinang tahun 2009 sejumlah 60,93 % mengalami
peningkatan pada Pileg Kota Tanjungpinang tahun 2014 sejumlah 67.87 %.
Melihat program prioritas nasional pembentukan Rumah Pintar Pemilu yang
dicanangkan oleh KPU RI pada tahun 2017 ini kepada seluruh KPU di daerah baik
tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota merupakan perwujudan konsistensi
KPU sebagai penyelenggara pemilu untuk melakukan pendidikan pemilih kepada
masyarakat secara luas. Pembentukan Rumah Pintar Pemilu ini dibentuk pada 15
(lima belas) KPU Provinsi/KIP Aceh dan 273 (dua ratus tujuh puluh tiga) KPU/KIP
Kabupaten/Kota dengan total keseluruhan pembentukan Rumah Pintar Pemilu adalah
sebanyak 288 (dua ratus delapan puluh delapan) se-Indonesia. Dan untuk KPU
wilayah Provinsi Kepulauan Riau hanya dibentuk 5 (lima) Rumah Pintar Pemilu
yaitu pada KPU Provinsi Kepulauan Riau, KPU Kota Tanjungpinang, KPU Kota Batam,
KPU Kabupaten Bintan dan KPU Kabupaten Daik Lingga.
Dengan dibentuknya Rumah Pintar Pemilu di 5 (lima) KPU di wilayah
Provinsi Kepulauan Riau, tentunya besar harapan kita agar masyarakat semakin
cerdas dalam berdemokrasi sehingga partispasi pemilih pada setiap pemilu
mengalami peningkatan, terkhusus di Kota Tanjungpinang, yang mana KPU Kota
Tanjungpinang merupakan satu-satunya lembaga penyelenggara pemilu di Provinsi
Kepulauan Riau yang akan melaksanakan Pilkada serentak gelombang ketiga pada
Juni 2018.
Maka dengan ini, untuk mengantisipasi rendahnya partisipasi pemilih atau
solusi mengatasi golput : 1) Selain peningkatan kinerja KPU daerah sebagai
penyelenggara pemilu beserta Bawaslu/Panwaslu, pemerintah daerah dapat membantu
dalam hal melakukan sosialisasi atau memfasilitasi pelaksanaan sosialiasi
setiap pelaksanaan pemilihan umum kepada masyarakat; 2) Seluruh elemen
masyarakat agar memiliki kepedulian dalam konteks berpartisipasi pada setiap
pesta demokrasi; dan 3) Berkaitan dengan aturan pada konstitusi tentang hak
asasi memilih, agar ditambah pengaturan terkait dengan kewajiban asasi memilih
dalam setiap pemilihan umum, sebagaimana diterapkan di beberapa negara dan
bahkan disertai dengan sanksi.
Sudah
pernah di publish pada media:
pada tanggal 23
March 2017
Aslamualaikum wr.wb.perkenalkan nama saya syamsiah dari kelas B izin kan saya bertanya ya pak🙏Mengapa pemilihan umum di selenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional,tetap dan mandiri🙏Terimakasih pak🙏
BalasHapus